Monthly Archives: October 2015

Mengejar Matahari Alishan

Ketika pertama kali merumuskan itinerary trip ke Taiwan, saya tidak terpikir sama sekali untuk pergi ke suatu tempat yang bernama Alishan. Di tengah kebingungan saya mencari alternatif untuk mengisi 7 hari yang saya punya di trip kali ini, tiba-tiba muncul sebuah saran untuk itu. Awalnya saya lebih memilih untuk mengunjungi Kaohsiung, kota kedua terbesar setelah Taipei, tapi hanya butuh satu dua kali browsing tentang Alishan untuk mengubah pendapat saya. Keindahan gambar dan foto-foto yang ada sungguh menggoda dan rasanya sayang untuk dilewatkan.

Hingga detik terakhir saya berangkat ke Taiwan, jujur saya baru tahu sedikit sekali mengenai Alishan ini. Tidak banyak informasi yang bisa saya dapatkan di internet dan bahkan jika bukan karena kebaikan hati si pemilik hotel yang bersedia menjemput di bus stop, mungkin malam itu saya menjadi gelandangan karena tidak tahu bagaimana cara mencapai hotel yg dipesan karena lokasinya berada di entah berantah (Informasi selengkapnya mengenai Alishan mungkin akan saya cantumkan di postingan selanjutnya).

Satu hal yang paling menarik untuk dilakukan di Alishan adalah berburu Matahari terbit. Di tulisan saya sebelumnya saya pernah cerita juga tentang perjalanan saya ke Bromo untuk melakukan hal yang sama, berhubung kali itu belum berhasil, perjalanan kali ini membuat saya sangat bersemangat. Apalagi di dalam trip kali ini juga ada sesuatu yang “berbeda” dengan trip sebelumnya. Sesuatu yang membuat saya berharap banyak. (bahkan mungkin terlalu banyak..)

Sejak pukul 03.30 pagi saya sudah berangkat dari hotel dengan mobil sewaan. Perjalanan membutuhkan kira-kira enam puluh menit. Sesampainya di sana, saya langsung berhadapan dengan antrian yang sangat panjang. Dari Alishan National Park menuju tempat melihat matahari terbit pengunjung harus menggunakan sebuah kereta tua yang menjadi daya tarik utama Alishan ini, konon kereta yang berada di ketinggian seperti itu hanya ada 3 di dunia.

Saya tepat sekali berada di ujung peron ketika petugas memutuskan untuk menyetop arus masuk karena kapasitas kereta pertama telah penuh. Saya terpaksa harus puas menunggu kereta kedua yang berangkat, sementara jarum-jarum di sebuah jam bulat besar yang digantung di dinding menunjukan bahwa sisa waktu yang dimiliki tidak banyak lagi. Dari dalam kereta pun samar-samar saya bisa melihat cahaya di antara pohon pohon yang menjulang tinggi. Dalam hati saya berharap, semoga saya bisa sampai tepat waktu dan semoga momen matahari terbit tidak terlewat lagi. (dan semoga cerita saya kali ini bisa berakhir indah..)

Dari atas puncak, saya bisa melihat matahari masih bersembunyi di balik pegunungan. Masih ada beberapa menit sebelum dia muncul menampakan wujudnya. Namun sensasinya ternyata berbeda. Saya tidak berada di ketinggian yang cukup untuk melihat Matahari muncul dari cakrawala. Saya harus puas dengan kemunculan nya dari balik gunung saja. Meskipun demikian, ketika Sang Matahari yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul, saya membuat Tanda Salib dan tetap mengucap syukur atas kesempatan ini. Dengan anggunya dia memancarkan sinar terang menyilaukan dan memberikan kehangatan di suhu belasan derajat kala itu.

image

Well, usaha kali ini tidak bisa dikatakan gagal, tapi rasanya terlalu berlebihan juga jika dianggap berhasil.

Dan dari hal ini saya mencoba belajar bahwa kadang kita harus bisa menerima keadaan. Apa yang kita inginkan tidak selalu bisa kita dapatkan, dan kenyataan bisa jadi tidak seindah yang diharapkan.

Seperti juga yang sedang saya rasakan terhadap “Dia”. Mungkin saya memang belum berada di “ketinggian” yang cukup untuk bisa menikmati hangat hatinya.

Sepahit apapun kenyataan itu, sesulit apapun untuk menerimanya, matahari akan tetap timbul dan tenggelam, dunia akan terus berputar dan semesta tidak akan peduli terhadap kekecewaan yang dirasakan. Tidak ada yang boleh disalahkan, tidak ada yang bisa dipaksakan, dan tidak ada yang perlu disesali. Satu-satunya cara untuk terus melangkah adalah dengan membesarkan hati, melapangkan dada, menerima..

Dan malam ini, di dalam gelap kamar hotel di lantai 13 suatu bangunan di sudut Ximending, saya masih terjaga menyelesaikan tulisan ini, walaupun lelah berjalan seharian menyiksa, sebagai salah satu usaha saya untuk menerima. Sebelum tidur saya akan membuat Tanda Salib dan tetap mengucap syukur. Saya percaya, meskipun bukan sekarang, Tuhan pasti menyediakan lagi momen matahari terbit untuk saya di suatu tempat, di suatu saat nanti..

=)

Categories: Uncategorized | Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.