Hari ketiga, kami berada di HCMC. Hari ini kami terpaksa bangun lebih pagi, kami akan melakukan perjalanan ke Vung Tau yang cukup jauh. Kira-kira jaraknya 130 km dari HCMC. Plus macet kurang lebih bisa ditempuh sekitar 3 jam. Kami menyewa mobil melalui travel agent nya Nhi. Saat kami melakukan pemesanan, kami sudah request untuk sopir yang bisa merangkap sebagai guide, tentunya yang bisa berbahasa Inggris. Eh, ternyata.. mungkin kami lagi apes, boro-boro jadi guide, sopir yang menjemput kami plonga-plongo ketika diajak ngomong pake bahasa Inggris. Si sopir sama sekali ga ramah, mukanya sedikit manyun, entah lagi ada masalah entah bawaan sejak lahir. Duh, feeling mulai ga enak nih..
Dalam perjalanan, tidak banyak pemandangan yang bisa kami lihat. Sebagian besar melalui jalan tol dan jalan-jalan pinggiran kota, lalu lintas kota yang padat sepeda motor pun perlahan-lahan berganti menjadi mobil-mobil truk besar, mirip jalur pantura. Sopir pun diam seribu bahasa, manyun, entah lagi konsentrasi entah bawaan sejak lahir. Kami ga kehabisan akal mengakali kebosanan ini, kami mengadakan permainan tebak lagu, khusus lagu anak-anak jaman dulu, sekaligus ngetes, dulu masa kecil bahagia ato enggak =p Ah ingatan tentang masa kecil memang indah, lagu-lagu dulu itu kayanya nempel banget. Dari sekian banyak lagu yang kami nyanyikan, sebagian besar bisa ditebak satu sama lain. Bahkan lagu-lagu dari Wit yang kalo nyanyi suka asal dan nadanya sering ketuker-tuker =p Lucunya, cuma lagu-lagu dari Yin yang ga bisa ketebak. Yang tau lagu-lagu itu cuma dia dan adeknya. Saya gatau d, mungkin kurukulum TK ato SD di Garut lain daripada yang lain =p Bisa ada lagu yang seinget saya lirik nya tentang Joni pergi dari desa ke kota dan ganti nama, ada yang tau lagu itu ? Dari Garut ? =p
Sopir sempat berhenti satu kali di rest area. Dari sekian banyak rest area yang ada di pinggir jalan, entah kenapa dia memilih satu yang agak jelek, kotor dan kurang terawat. Kami menumpang ke WC dan membeli minuman. Sopir nunggu di mobil, masih manyun, entah dia lagi capek entah bawaan sejak lahir
Setelah melanjutkan perjalanan kembali, Yin, sempet ketularan suaminya yang panik di terowongan kemarin =p Dia sedikit panik lihat kelakuan sopir yang manyun itu. Dari pertama memang Yin yang paling semangat pengen ke Vung Tau. Dia takut rencana hari itu jadi kacau gara-gara si sopir. Dia memaksa saya berkomunikasi ala tarzan dengan si sopir. Setelah cukup lelah mencoba berkali-kali dan tanpa hasil berarti, saya coba menghubungi Nhi agar dia bisa ngecek dan komunikasi sama sopir. Eh si sopir makin manyun, entah dia tersinggung entah bawaan sejak lahir..
Akhirnya kami tiba di Vung Tau. Vung Tau adalah sebuah kota kecil di selatan HCMC. Kota ini memiliki pantai, oleh karena itu kota ini sering menjadi tempat “pelarian” penduduk HCMC di kala weekend dan liburan. Mirip seperti penduduk jakarta yang sering bikin macet Bandung tiap weekend itu =p Tapi ketika kami kesana, kota itu terlihat sepi. Memang waktu kami ke sana itu hari Senin, ini usul Nhi untuk menghindari keramaian, kami pun menyutujui supaya bisa menikmati lebih puas =p Kesan pertama yang saya dapatkan dari kota ini adalah kota ini belum “jadi” dan sedang berkembang. Pemerintah nya seperti sedang berusaha menjadikan kota ini sebagai tempat wisata yang terkenal. Bisa terlihat dari pembangunan sarana-sarana kota seperti trotoar-trotoar yang lebar, bersih dan rapi, serta taman-taman kota yang tersebar dan indah. Pantai nya tidak bisa dibilang bagus, biasa aja, tapi bersih. Kami juga tidak melihat adanya hotel atau resort atau café-café yang menarik. Sayang kami ga bisa mengetahui lebih banyak tentang kota ini, mau nanya sopir juga percuma, dia lagi manyun, entah lagi kebelet entah bawaan sejak lahir.
Tempat yang kami kunjungi pertama kali adalah sebuah kuil. Entah kuil apa. Kami seperti anak ilang, celingak celinguk kebingungan, kepanasan. Akhirnya daripada nganggur kita adain sesi pemotretan. Sampe sekarang pun saya gatau kuil apa itu. Agak jengkel juga ama si sopir, tapi biar gimana juga saya berusaha nahan-nahan supaya ga manyun, ntar dia geer nyangka saya ikut-ikutan gaya dia =p
Setelah itu kami makan siang, lagi-lagi pilihan si sopir bikin jengkel, dari sekian banyak resto dia pilih yang entah berantah. Makanan nya standar, harganya lumayan mahal. Udah baik-baik diajak makan, si sopir malah manyun, entah dia ga doyan seafood entah bawaan sejak lahir..
Setelah itu, si sopir membawa kami ke sebuah lokasi, kami sama sekali gatau itu tempat apa. Pas mau masuk pintu gerbang ada loket untuk beli tiket. Sopir seenaknya suruh kita turun dan beli tiket, nah loh, bingung bingung deh. Akhirnya saya dan monik selaku bendahara turun, coba cari tau, celakanya yang jaga loket ibu-ibu yang agak tua yang ga bisa bahasa Inggris juga (tepok jidat). Setelah dialog “aa uu aa uu” agak lama, akhirnya saya nekat beli tiket dan masuk.
Ternyata, kami diantar ke sebuah bangunan kuno yang cukup indah. Bangunan ini bercat putih dan berada di atas bukit sehingga dari situ kita bisa melihat pemandangan pantai dan laut dari ketinggian. Bangunan ini adalah rumah besar dan bertingkat, seperti kastil kecil. Cocok banget nih buat sesi pemotretan ! di pelataran rumah, kami disambut jajaran meriam, dari situ kita menebak pasti rumah ini milik orang penting dan berhubungan dengan militer. Kami terpaksa menebak-nebak karena papan informasi sebagian besar berbahasa Vietnam. Saat saya sedang asik berfoto dekat meriam dengan pose anonoh, tiba-tiba terlihat rombongan yang berisi sepasang pengantin dan beberapa kru foto, mungkin mereka lagi mengadakan foto prewed ! Lalu tiba-tiba, entah ide absurd siapa, kami tiba-tiba dengan gatau malunya minta foto bareng pengantin, LOL, sampe sekarang belon ada yang ngaku siapa pencetus nya, ini tersangka utama kayanya Ika deh =p di dalam rumah, kami menemukan banyak barang-barang dan perabot antik, masih dalam kondisi bagus dan terawat. Cukup menarik tapi nothing special. Yah lumayan deh dapet foto-foto keren =p
Prewed =P
Belakangan, setelah browsing karena penasaran, saya baru tau kalo bangunan itu ternyata bernama Villa Blanche. Bangunan ini adalah bekas rumah peristirahatan milik seorang Gubernur Perancis (dulu Vietnam dijajah Perancis). Masyarakat sekitar menyebutnya “Bach Dinh” yang berarti white palace. Info selengkapnya silahkan tanya om google =p
Setelah itu, kami meluncur ke tempat yang memang jadi tujuan utama kami ke Vung Tau, patung raksasa Tuhan Yesus yang memiliki tinggi kurang lebih 30 meter. Patung itu berada di puncak sebuah bukit. Ketika kami memarkir mobil, patung itu terlihat kecil sekali. Kami memang harus “mendaki” untuk mencapai lokasi tersebut. Ketika kami “ngeri” melihat ratusan anak tangga yang kliatan ga berujung, si sopir yang biasanya manyun malah nyengir penuh kemenangan, siyal..
Perjalanan menuju puncak memang penuh perjuangan. Itu anak tangga rasanya ga abis-abis, plus matahari gamau kompromi, panas nya minta ampun. Saya yang biasa nya jaim dan tampan setiap saat pun terpaksa harus ikhlas terlihat hina, ngos-ngosan megap-megap mandi kringet =p Butuh waktu yang cukup lama untuk mencapai puncak, baru beberapa langkah berhenti beli minum, baru beberapa langkah berhenti liat-liat toko souvenir, baru beberapa langkah berhenti foto, baru beberapa langkah berhenti istirahat, baru beberapa langkah berhenti ke WC, baru beberapa langkah berhenti minta napas buatan (eh?).
Patung Tuhan Yesus itu terlihat sederhana, berwarna putih polos bersih, tanpa banyak hiasan atau ornamen macem-macem. Dia lagi merentangkan kedua tangan Nya, menghadap ke laut, sedikit menunduk ke bawah. Saya takjub melihat kemegahan yang terpancar dari kesederhanaan tersebut, tidak berlebihan tapi sangat terasa memiliki makna yang begitu mendalam, sebuah perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Yang jelas, saat melihat pertama kali, di isi kepala saya cuma satu, saya ingin mengajak mama papa saya ke sini, mereka pasti seneng..
Patung Yesus tersebut bisa dimasuki pengunjung, bahkan pengunjung bisa naik dan berdiri di atas tangan Nya. Sayang sekali, karena ada peraturan bahwa pengunjung harus berpakaian “sopan”, beberapa dari kami tidak diperbolehkan masuk. Saya sendiri untungnya diperbolehkan masuk. Di lantai dasar, kami bisa melihat berbagai foto-foto pembangunan patung tersebut. Merinding melihat bagaimana umat Kristiani dan masyarakat bekerja sama, gotong royong, bantu membantu dalam pembangunan tersebut. Mereka berbaris di sepanjang bukit, memindahkan bahan-bahan bangunan termasuk bongkahan-bongkahan batu besar, dari tangan ke tangan, salut..
Ternyata perjuangan kami menaiki anak tangga belum selesai. Setelah menaiki ratusan anak tangga untuk mencapai bukit, kami masih harus naik tangga lagi untuk ke bagian atas patung. Kalau dihitung-hitung mungkin sekitar 7 lantai. Karena ukuran patung yang tidak begitu besar, tangga pun dibuat dengan ukuran yang pas-pas an. Termasuk sempit untuk ukuran badan saya. Kemiringan tangga pun lumayan curam. Perjalanan ke atas cukup menegangkan, butuh konsentrasi, fobia ketinggian dan kaki yang sudah capek pun menambah kondisi jadi makin sulit.
Saat sudah tiba di atas, saya hanya bisa terdiam. Bom dan Wit sibuk memfoto pemandangan yang luar biasa. Saya hanya berdiri, memandang sejauh yang saya bisa, dan ditengah tiupan angin yang cukup kencang, saya berusaha “memahami” di mana saya berdiri saat itu. Jelas bukan sekedar di sebuah objek wisata, bukan sekedar di sebuah bangunan tinggi untuk melihat pemandangan, bukan sekedar campuran batu pasir semen yang biasa saya injak. Saya cuma bisa bersyukur saya bisa mendapatkan kesempatan untuk dapat berdiri di sana =)
Bersambung..
-On-