Monthly Archives: June 2015

Nothing haunts us like the things we don’t say

Malam itu, deretan antrian mobil seakan tidak berujung. Sebuah kemacetan yang biasa terjadi di ujung akhir pekan panjang membuat kami terjebak di dalamnya. Mobil yang ditumpangi kami berempat itu hanya bisa bergerak beberapa centimeter setiap beberapa menit sekali.

Saya berada di balik kemudi, dan sejauh mata memandang saya hanya bisa melihat dengan jemu kilau lampu merah rem dari puluhan mobil di depan, kadang berpadu dengan lampu sorot dari mobil yang berlawanan arah, terbias oleh rintik hujan gerimis.

Sayup-sayup terdengar lagu dari audio mobil, menemani saya mengusir kantuk sekaligus menjaga agar keheningan tidak menambah siksa. Bagaimanapun juga itu tidak terlalu banyak membantu melawan bosan karena lagu-lagu yang ada sudah terlalu sering saya putar sebelumnya. Sayapun sudah kehabisan topik berbincang dengan teman perjalanan yang duduk di sebelah saya.

Saya iseng mengubah posisi kaca spion yang berada di tengah. Dari sudut yang telah saya sesuaikan saya dapat melihat dengan lebih jelas. “Dia” tertidur dengan pulas di kursi belakang. Kali pertama saya melihat wajahnya seperti itu. Tidak ada senyum jahil yang selalu memancing saya ikut tersenyum, tidak ada ekspresi-ekspresi lucu dari pipi chubby dan gigi kelinci nya yang selalu membuat saya gemas.

Saya tau dia pasti kelelahan, seharian dia mengantar saya berputar-putar jalan-jalan dari satu tempat ke tempat lainnya. Malam semakin larut, rumah masih jauh, sedangkan keesokan paginya dia harus berangkat kerja. Oleh karena itu saya membiarkannya dalam damai, berusaha membuatnya beristirahat senyaman mungkin.

Saya merasa ada hal lain yang saya rasakan selain kaki pegal luar biasa setelah mengemudi seharian. Ada sesuatu yang mengganjal di hati, sebuah keraguan. Saya kembali mengingat-ingat apa saja yang telah saya lakukan hari itu, hari sebelumnya, bahkan berhari-hari dan berminggu-minggu sebelumnya, hal-hal yang saya lalui bersama “Dia”.

Ada banyak kata yang tidak sempat terucap, ada banyak sikap yang kurang tepat, dan mau tidak mau rasa sesal menyerang. Lagi-lagi saya gagal untuk tidak berbuat dungu ketika saya jatuh hati. Mungkin ini yang menyebabkan saya terus menerus menangkap sinyal bahwa memang “Dia” menjaga jarak.

Entah firasat saya benar atau saya terlalu mudah menyerah. Yang jelas saya tidak ingin kehadiran saya mengganggu. Saya harus menemukan cara untuk meredam rasa ini, sebelum semuanya menjadi semakin parah dan tidak terkendali. Hati-hati dengan hati.

Beberapa sore setelahnya, saya berlutut di dalam Gereja, bersiap untuk berdoa menyambut Komuni. Misa minggu sore itu adalah Misa pertama yang saya hadiri bersama “Dia”, setelah beberapa kali saya menolak ajakannya ikut Misa Pagi karena malas bangun.

Biasanya setiap kali saya berdoa di dalam Gereja, saya tidak pernah lupa memohon satu hal, selalu hal yang sama itu. Tapi sore itu, sebelum berdoa saya menoleh sekilas ke sebelah kiri, lalu melihat “Dia” yang juga sedang berlutut di sebelah saya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama saya tidak memohon hal yang biasanya. Untuk pertama kalinya namanya terselip dalam Doa.

Ada bahagia yang tidak terduga. Apapun yang terjadi nanti, bisa berada di dekatnya saat ini, merasakan walau hanya sedikit saja kehangatannya, itu sudah cukup. Tidak perlu berangan lebih tinggi atau menuntut lebih banyak. Mungkin itu yang terbaik, setidaknya untuk saat ini..

Malam ini..
Saya tidak pernah melihat “Dia” secantik ini..
Dan saya tidak membawa cukup keberanian untuk mengatakannya..

Categories: Uncategorized | Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.